- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ritual Upacara adat Saparan Bekakak adalah sebuah ritual budaya Jawa
asli dari Yogyakarta yang diselenggarakan tiap bulan Sapar dalam
penanggalan Jawa atau safar dalam kalender islam. Siang itu
seusai shalat Jumat, ratusan warga berkumpul untuk bersiap menyaksikan
ritual tahunan ini yang berlangsung dari Balai Desa Ambarketawang, dan
diakhiri di pasanggrahan Gunung Gamping, Sleman, Yogyakarta, dengan
menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang terbuat dari beras ketan.
Menurut
mitos Jawa kuno, dahulu bulan Sapar dianggap sebagai bulan sial dimana
seringkali terjadi sejumlah musibah atau kecelakaan. Kepercayaan ini
mendorong masyarakat Jawa untuk tidak menyelenggarakan berbagai hajatan seperti pernikahan terutama pada hari rabu terakhir di bulan ini.
Hingga
saat ini, masyarakat Jawa di sekitaran kawasan Ambarketawang, Gamping,
Sleman, Yogyakarta, dimana lokasi ini merupakan tempat didirikannya
Kraton Yogyakarta untuk pertama kalinya, masih melaksanakan ritual
Saparan dengan maksud sebagai wujud doa Pada Yang Maha Kuasa agar
dihindarkan dari mara bahaya. Otomatis, ritual adat ini memiliki latar
belakang sejarah yang berasal dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dikisahkan
bahwa ada sepasang suami-istri yang merupakan abdi dhalem setia Kraton
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) bernama
Kyai Wirasuta dan Nyi Wirasuta. Sebagai Kanjeng Sinuhun yang
pertama, Sultan Hamengku Buwono I bermaksud mendirikan sebuah istana
(Kraton) sebagai kediaman kerajaannya. Sembari menunggu pembangunan
selesai, Sultan memilih beristirahat sejenak di sebuah pasanggrahan yang
terletak di Desa Ambarketawang yang pada waktu itu sebagian besar
masyarakatnya bermata pencaharian dengan menambang batu gamping.
Setelah
selesainya Kraton dibangun, Sultan beserta para abdi dhalem hendak
kembali ke Kraton namun tidak dengan kedua abdi dhalem tadi. Kyai dan
Nyi Wirasuta memilih untuk menetap di pasanggrahan bekas tempat singgah
Sultan pertama tersebut. Malapetaka tak diduga terjadi, pada Jumat
Kliwon bulan Sapar, Gunung Gamping runtuh dan menewaskan kedua abdi
dhalem tersebut. Anehnya, jasad mereka tidak ditemukan hingga sekarang.
Seiring
berjalannya waktu, masyarakat Ambarketawang, Gamping diresahkan dengan
musibah serupa yang terjadi tiap bulan Sapar. Masyarakat setempat
meyakini arwah Kyai dan Nyi Wirasuta masih menempati Gunung Gamping.
Mengetahui keresahan tersebut, Sri Sultan bertitah pada masyarkat
Ambarketawang agar tiap bulan Sapar mengadakan upacara selamatan dengan
menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang terbuat dari campuran
beras ketan yang dimaksudkan untuk menggantikan Kyai dan Nyi Wirasuta
serta warga lain yang tertimpa musibah longsornya Gunung Gamping agar
tidak terjadi bencana serupa di wilayah ini.
Ketua
Panitia Saparan Bekakak, Frans Haryono mengatakan bahwa Perayaan kirab
budaya tak sebatas seremonial tahunan, di balik setiap perayaan ada
edukasi kultural yang selalu ingin digelorakan. “Intinya tradisi Saparan
Bekakak adalah peringatan terhadap kesetiaan seorang abdi dhalem pada
rajanya,” ujar beliau sesaat setelah selesainya upacara Bekakak
dilaksanakan.
Ritual
adat ini berlangsung terus menerus hingga sekarang dengan tidak
mengurangi nilai dan makna dari tiap prosesinya. Ritual Saparan Bekakak
yang dahulu sebagai wujud tolak bala masyarakat Jawa saat ini telah
terintegrasi pada mitos sejarah dan legenda lokal yang tetap diuri-uri secara
konsisten oleh masyarakat setempat lebih dari sebuah ritual budaya,
namun sebagai komoditi bagi daya tarik wisata lokal maupun manca Negara.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar